Mengenal Kekayon, Filosofi Pohon di Yogyakarta
Trippers.id – Yogyakarta telah ditetapkan sebagai ASEAN City of Culture. Ini tercermin dari nilai-nilai kebudayaan yang melekat dalam diri masyarakat Yogyakarta. Tak hanya itu, dalam bentuk penataan ruang, Kota Yogyakarta memiliki nilai-nilai kebudayaan yang tersirat.
Bentuk penataan ruang Yogyakarta dari selatan menuju ke Utara dapat ditarik sebuah garis imajiner yang melintasi monumen-monumen penting antara lain secara mikro-cosmos mulai dari Panggung Krapyak, Alun-alun Selatan, Keraton, Alun-alun Utara, hingga Tugu Yogyakarta.
Bentuk penataan ruang ini dimulai pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang pada masa itu merupakan peralihan dari Mataram kepada Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdasarkan perjanjian Giyanti. Secara filosofi kebudayaan, sumbu filosofis ini memiliki arti mendalam tentang Sangkan paraning dumadi atau kejadian kehidupan manusia dari mula lahir hingga menuju Sang Maha Kuasa.
Terdapat sebuah konsep unik dalam sumbu filosofis Kota Yogyakarta, yaitu konsep kayu budaya. Konsep kayu budaya merupakan peranan kayu atau kekayon dalam sumbu filosofis Kota Yogyakarta. Dalam konsep kayu budaya pohon-pohon disusun secara berurutan menurut pesan-pesan apa saja yang ingin disampaikan kepada masyarakat.
Kayu-kayu yang ditanam secara berurutan dari Panggung Krapyak menuju Tugu Yogyakarta meliputi pohon asam, pohon tanjung, pohon mangga, pohon beringin, kemudian kembali menggunakan pohon asam. Makna-makna yang ada dalam pohon-pohon tersebut tidak terlepas dari tuntunan laku yang harus dilakukan agar menjadi manusia sejati.
1. Pohon Asam
Pohon yang ditanami sepanjang jalan dari Panggung Krapyak menuju keraton dan dari keraton menuju Tugu ini merupakan simbol dari sifat baik manusia yang harus disenangi. Sebab asam atau pohon asem sendiri berasal dari kata asem atau ngasemi yang berarti menyenangkan. Hal ini bermakna bahwa manusia haruslah tetap disenangi dan menyenangi orang disekelilingnya.
Selain itu masyarakat Yogyakarta juga menyebut pucuk pohon asam dengan sebutan sinom. Sinom yang berarti muda atau pemuda ini dimaksudkan bahwa manusia musti menjadi seperti pucuk asam yang memiliki semangat yang terang atau kuat sebab warna hijau terang pada pucuk pohon asam ini bermakna ijo royo-royo atau hijau yang membara.
2. Pohon Tanjung
Nama pohon yang befungsi sebagai wewangian ini dikaitkan oleh masyarakat Yogyakarta dengan Nyanjung atau Njunjung yang berarti memuliakan atau menghargai. Sifat manusia setelah disenangi dan menyenangi adalah harus menghargai dan memuliakan orang di sekitarnya.
3. Pohon Mangga
Pohon Mangga dalam Bahasa Jawa berarti pelem. Sifat mangga yang bisa dibuat makanan apapun dalam keadaan matang atau tidak membuat pohon mangga dijadikan cerminan bersikap oleh masyarakat Jawa. Nama pelem juga dimaknai gelem yang berarti mau atau kemauan.
Bagi masyarakat Yogyakarta, manusia yang baik harus memiliki kemauan yang besar serta mau jika dimintai tolong. Sehingga mirip seperti pohon mangga yang “mau” dan bisa dibuat masakan apa saja baik usia muda maupun matang.
4. Pohon Beringin
Pohon yang dikenal keramat oleh masyarakat Indonesia pada umumnya ini memiliki makna yang berbeda pada masyarakat Yogyakarta. Secara penampilan, bentuk pohon ini terlihat seperti memiliki janggut sehingga masyarakat Yogyakarta menamai pohon ini sebagai pohon wok atau yang berarti pohon berjanggut.
Peletakan pohon beringin yang ada di tengah-tengah sumbu filosofis menandakan bahwa pohon ini melambangkan sifat inti yang harus dimiliki manusia. Perawakan berjanggut identik dengan orang yang sudah tua atau sosok-sosok petapa sehingga makna bijaksana tercermin dalam pohon wok ini.
Sifat bijaksana sebagaimana dilambangkan dengan pohon wok merupakan harapan sifat utama yang harus dimiliki oleh manusia.