5 Upacara Adat Sumatera Barat yang Khas
Provinsi Sumatera Barat mungkin sangat identik dengan Suku Minangkabau sebagai masyarakat yang paling dominan. Namun terlepas dari situ, kita juga perlu mengenal kebudayaan suku-suku di Kepulauan Mentawai yang masih murni dan eksotik.
Selain itu, kebudayaan khas Minang juga memiliki ciri khas dan karakter yang sangat kuat. Meskipun telah banyak dipengaruhi kebudayaan dari luar, daya tarik kebudayaan Sumatera Barat masih sangat kuat, apalagi jika membahas kebiasaan masyarakat pedalaman yang pasti unik dan aneh.
Pada kesempatan ini, kita akan menjabarkan setidaknya 10 tradisi upacara adat Sumatera Barat yang unik dan khas, yang mungkin belum banyak orang yang tahu. Berikut kita simak 10 upacara adat Sumatera Barat:
1. Upacara Tabuik
Tabuik atau Tabot merupakan salah satu tradisi tahunan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Pariaman, Sumatera Barat. Perayaan ini telah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu, yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-19 Masehi.
Perayaan Tabuik merupakan peringatan hari wafatnya seorang cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib, pada tanggal 10 Muharram. Dalam catatan sejarah, Husein beserta keluarganya wafat di hari itu pada peristiwa Karbala.
Kata tabuik sendiri berasal dari bahasa Arab, tabut, yang berarti “peti kayu”. Istilah tersebut merujuk pada legenda tentang keberadaan makhluk berwujud kuda bersayap dan berkepala manusia yang disebut buraq.
Legenda tersebut mengisahkan, setelah wafatnya Husein, sebuah kotak kayu berisi potongan jenazah Husein diterbangkan ke langit oleh makhluk buraq tersebut. Berdasarkan legenda inilah, masyarakat Pariaman membuat tiruan buraq yang sedang mengusung tabut di punggungnya pada perayaan Tabuik ini.
Menurut cerita yang diterima masyarakat secara turun temurun, tradisi ini diperkirakan muncul di Pariaman sekitar tahun 1826-1828 Masehi. Pada masa itu, upacara Tabuik masih begitu kental dengan pengaruh timur tengah yang dibawa oleh orang-orang keturunan India penganut Syiah.
Pada tahun 1910, muncul kesepakatan antar nagari untuk menyesuaikan perayaan Tabuik yang masih bernuansa timur tengah ini dengan kultur Minangkabau. Sejak saat itulah, tradisi ini berkembang menjadi seperti yang ada pada saat ini.
Upacara Tabuik juga terdapat dua macam, yaitu Tabuik Pasa (pasar) dan Tabuik Subarang (seberang). Kedua jenis tersebut masih berasal dari Kota Pariaman namun dari wilayah yang berbeda.
Tabuik Pasa berasal dari wilayah sisi selatan dari sungai yang membelah Kota Pariaman hingga ke Pantai Gondoriah. Wilayah Pasa dianggap sebagai daerah asal dari tradisi ini. Sementara Tabuik Subarang berasal dari daerah seberang, yaitu wilayah yang berada di sisi utara sungai yang juga biasa dikenal dengan Kampung Jawa.
Sejak tahun 1982, perayaan Tabuik dijadikan sebagai bagian dari kalender pariwisata Kota Pariaman. Dari situ, terjadi berbagai penyesuaian yang salah satunya dalam hal waktu pelaksanaan acara puncak dari rangkaian upacara Tabuik ini.
Jadi, walaupun prosesi awal Tabuik ini dimulai pada tanggal 1 Muharram sebagai perayaan tahun baru Hijriyah, namun pelaksanaan acara puncak dalam upacara ini berubah-ubah dari tahun ke tahun, tidak lagi harus 10 Muharram karena menyesuaikan dengan akhir pekan.
Pada upacara Tabuik, terdapat tujuh rangkaian ritual yang dilaksanakan, yaitu dimulai dengan prosesi mengambil tanah, menebang batang pisang, mataam, mengarak jari-jari, mengarak sorban, tabuik naik pangkek, hoyak tabuik, dan membuang tabuik ke laut.
Hari puncaknya adalah pelaksanaan ritual tabuik naik pangkek yang dilanjutkan dengan hoyak tabuik. Sebagai penutupnya, pada saat menjelang Maghrib, tabuik tersebut diarak menuju Pantai Gondoriah dan dilarung ke laut.
Setiap tahunnya, puncak acara Tabuik ini selalu disaksikan hingga puluhan ribu pengunjung yang hadir dari berbagai daerah di Sumatera Barat. Bukan hanya masyarakat lokal saja, festival ini pun mampu mencuri perhatian dari banyak turis asing yang membuatnya menjadi perhelatan besar yang diburu setiap tahunnya.
2. Upacara Turun Mandi
Upacara Turun Mandi merupakan salah satu ritual adat yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhur masyarakat Minangkabau. Suku Minangkabau merupakan salah satu suku yang sangat menjunjung tinggi warisan leluhur mereka, sehingga upacara ini menjadi salah satu budaya yang masih bertahan hingga kini.
Turun Mandi adalah upacara yang dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas kelahiran seorang bayi. Selain itu, upacara ini juga memperkenalkan kepada masyarakat bahwa telah muncul keturunan baru dari sebuah keluarga.
Untuk melaksanakan prosesinya, terdapat ketentuan mengenai hari yang tepat dalam penyelenggaraan upacara ini. Untuk bayi laki-laki, maka diselenggarakan pada hari ganjil dari hari kelahiran si bayi. Sedangkan untuk bayi perempuan, maka diselenggarakan pada hari genap setelah hari kelahiran.
Tempat pelaksanaan upacara Turun Mandi adalah di batang aie (sungai) umum yang biasa digunakan oleh masyarakat sebagai tempat berkumpul. Sementara orang yang berhak membawa bayi ke batang aie adalah yang berjasa dalam proses kelahiran.
Selain itu, ada berbagai persyaratan yang wajib disiapkan oleh keluarga si bayi untuk melaksanakan upacara ini, di antaranya: batiah bareh badulang (beras yang digoreng), sigi kain buruak (obor dari kain robek), tampang karambia tumbuah (bibit kelapa), tangguak (tangguk), dan palo nasi yang telah dilumuri darah ayam dan arang.
Setiap syarat tersebut tentu memiliki makna tertentu sehingga menjadi barang wajib yang harus disiapkan untuk melaksanakan upacara ini. Namun, terdapat sedikit perbedaan persyaratan dari masing-masing nagari sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku.
Setelah seluruh prosesi di pemandian selesai, si bayi bersama sang ibu lalu diarak kembali ke rumah yang diiringi orang-orang yang menghadiri upacara tersebut. Upacara diakhiri dengan jamuan makan bersama di rumah keluarga si bayi.
3. Batagak Panghulu
Batagak Panghulu merupakan upacara adat Sumatera Barat, khususnya masyarakat Minangkabau dalam rangka meresmikan seorang datuk menjadi panghulu. Panghulu adalah pemimpin kaum, pembimbing anak-kemenakannya, dan menjadi niniak mamak di nagarinya.
Maka dari itu, seorang yang akan diangkat menjadi panghulu adalah orang yang memenuhi syarat kepemimpinan adat Minangkabau. Dalam hal ini, pengangkatan seorang penghulu tidak dapat dilakukan oleh pihak keluarga saja, namun bahkan sampai melibatkan Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Peresmian seorang panghulu haruslah berpedoman pada petitih adat, “maangkek rajo sakato alam, maangkek panghulu sakato kaum”. Adapun jabatan panghulu di Minangkabau ini diturunkan dari pendahulunya. Dari niniak turun ke mamak, lalu turun ke kemenakan dekatnya.
Prosesi Batagak Panghulu ini dimulai dengan tahap mufakat atau barundiang. Tahap musyawarah ini juga dilakukan dalam empat tahap, mulai dari lingkup keluarga besar, lingkup anak kemenakan, di bawah payung datuk niniak, hingga di bawah datuk persukuan.
Dilanjutkan tahap kedua yaitu prosesi pengangkatan panghulu yang sudah memasuki prosesi adat di rumah gadang. Pengangkatan ini meliputi prosesi pemasangan saluak kepada panghulu, pembaiatan (pengambilan sumpah), dan penasehatan panghulu.
Kemudian memasuki prosesi bararak, yaitu mengumumkan kepada khalayak umum di seluruh masyarakat bahwa telah diresmikan seorang datuk yang baru menjabat sebagai panghulu suatu kaum. Dalam perjalanan bararak ini, diiringi segenap panghulu-panghulu saniniak dalam satu suku.
Lalu dilanjutkan memasuki tahap keempat, yaitu panjamuan. Panjamuan adalah jamuan makan untuk para tamu dan karib kerabat setelah pulang dari prosesi bararak. Dalam perjamuan ini, lazimnya pihak panghulu mengorbankan minimal seekor sapi untuk disajikan dalam jamuan tersebut.
Kemudian tahap terakhir pengangkatan panghulu ini adalah prosesi naik ke balairung, dimana dalam hal ini seorang panghulu yang diangkat dinyatakan sah menjadi anggota Kerapatan Adat Nagari.
Demikianlah serangkaian upacara inti Batagak Panghulu yang berlaku secara umum di masyarakat Minangkabau. Namun rangkaian upacara tersebut mungkin ada perbedaan di masing-masing nagari karena dipengaruhi oleh aturan dan ketentuan yang berlaku.
Secara umum, upacara Batagak Panghulu ini bukanlah agenda rutin yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, melainkan bersifat kondisional yang dilaksanakan apabila seorang panghulu adat sudah tiba waktunya untuk diganti.
4. Batagak Kudo-Kudo
Batagak Kudo-Kudo merupakan salah satu tradisi yang masih bertahan di masyarakat Minangkabau, terutama di daerah Pariaman, Sumatera Barat. Kegiatan ini merupakan tradisi yang sudah cukup lama dilakukan di tanah Minang.
Frasa batagak kudo-kudo sendiri berasal dari bahasa Minang yang berarti “menegakkan kuda-kuda”. Batagak Kudo-Kudo adalah upacara yang menjadi bagian dari proses pendirian sebuah bangunan, baik itu berupa rumah pribadi atau fasilitas umum seperti rumah ibadah dan jalan raya.
Pada masyarakat Minangkabau, kegiatan beramai-ramai seperti ini biasa disebut juga dengan istilah baralek. Baralek umum dipakai untuk istilah bagi keluarga yang sedang mengadakan pesta selamatan, seperti: pesta pernikahan, perayaan khatam Alquran, dan pesta lainnya termasuk Batagak Kudo-Kudo ini.
Dalam acara tersebut, masyarakat setempat dari tetangga dan sanak famili akan diundang untuk menghadirinya. Satu ciri yang mencolok dari tradisi ini adalah para tamu undangan akan membawa hadiah berupa seng, uang, atau bahan bangunan lainnya.
Pada saat ini, kegiatan Batagak Kudo-Kudo tidak hanya dihadiri oleh masyarakat sekitar, melainkan juga dihadiri pada perantau yang berada di luar kota, terutama jika membangun fasilitas umum. Dengan adanya bantuan dari para perantau yang telah sukses, maka pembangunan fasilitas umum di kampung akan lebih cepat selesai.
5. Makan Bajamba
Makan Bajamba atau juga disebut Makan Barapak adalah tradisi makan bersama yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau dengan cara duduk bersama di suatu tempat yang telah ditentukan. Tradisi ini biasa digelar pada perayaan hari-hari besar agama Islam atau berbagai upacara, pesta adat, atau pertemuan penting lainnya.
Kegiatan Makan Bajamba biasanya akan dihadiri oleh lebih dari puluhan hingga ribuan orang. Dari sekian banyak orang tersebut lalu dibagi berkelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 3 sampai 7 orang. Masing-masing kelompok lalu duduk melingkar dan disediakan satu dulang yang di dalamnya terdapat sejumlah piring, nasi, dan berbagai macam lauk.
Meski semuanya sama-sama duduk tegap dan melingkar, ada sedikit perbedaan cara duduk antara peserta laki-laki dan perempuan. Cara duduk laki-laki adalah baselo atau bersila, sementara perempuan duduk dengan cara basimpuah atau bersimpuh.
Acara Makan Bajamba biasanya akan diawali dengan pertunjukan berbagai kesenian Minangkabau, dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat Alquran, sampai acara hiburan berbalas pantun.
Dalam sejarahnya, tradisi Makan Bajamba berasal dari Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, yang diperkirakan telah muncul sejak agama Islam masuk ke Minangkabau pada sekitar abad ke-7. Oleh karena itu, tata cara dan adab-adab Makan Bajamba secara umum didasari dari sunnah-sunnah ajaran Islam.
Di antara adab dalam tradisi ini adalah para peserta hanya mengambil makanan yang ada di hadapannya, setelah mendahulukan orang yang lebih tua mengambilnya. Cara duduk yang telah ditentukan bagi laki-laki dan perempuan tersebut juga merupakan bagian dari adab.
Selain itu, makan juga dilakukan dengan hati-hati dan pelan-pelan untuk menghindari tercecernya nasi. Peserta juga diwajibkan menghabiskan makanan yang sudah disediakan, sampai tidak tersisa lagi sebutir nasi pun di piring.
Budaya Makan Bajamba ini juga memiliki nilai budaya yang cukup dalam, yaitu memunculkan rasa kebersamaan tanpa melihat perbedaan status sosial. Selain itu, juga mengajarkan adab-adab makan dalam ajaran Islam untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
—————————
sumber : gasbanter.com