Mengenal Rumah Adat dari Sulawesi Tenggara
Trippers.id – Pada umumnya, wisatawan ingin mengunjungi suatu tempat karena pesona alam atau kulinernya khas. Padahal masih banyak alasan lain untuk mengunjungi suatu tempat, seperti rumah adat tradisional yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara. Rumah adat yang dimilikinya, dibagi menjadi 3 jenis. Perbedaan ketiganya, didasarkan dari kondisi strata sosial dari pemilik hunian. Yuk kenali lebih dekat dengan 3 jenis rumah adat berikut.
1. Rumah Adat Laikas
Laikas, merupakan rumah adat dari suku Tolaki yang mendiami di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara. Beberaopa daerah yang ditinggali suku adat tersebut terdiri dari Kota Kendari, Konawe Selatan, Kabupaten Konawe, Kolaka Utara Provinsi Sulawesi Utara, dan Konawe Utara. Rumah adat satu ini, memilki bentuk seperti rumah panggung yang terdiri dari tiga ataupun empat lantai. Uniknya, bagian bawah atau kolom rumah tidak ditinggali oleh penghuni rumah.
Bagian bawah dari Laika, pada umumnya digunakan sebagai tempat tinggal hewan peternakan seperti ayam dan babi. Barulah di lantai pertama dan kedua, akan ditinggali oleh penghuni rumah tersebut. Pada umumnya, kedua lantai tersebut akan menjadi tempat tinggal Raja beseta Pemaisurinya. Kemudian pada lantai tiga, digunakan sebagai tempat penyimpanan berbagai benda pusaka yang dimiliki sang Raja.
Lalu bagaimana dengan rumah adat Laika yang memiliki 4 lantai ? Pada lantai teratasnya, biasa digunakan sebagai area untuk beribadah sekaligus bersemedi. Jika berkunjung ke rumah adat satu ini, di lantai keduanya Anda akan menemukan suatu keunikan. Sebab pada bagian kanan dan kiri lantainya, akan di sediakan ruang khusus yang sangat menarik untuk dikulik. Ruangan khusus tersebut, digunakan sebagai ruang menenun kain atau membuat pakaian tradisional.
Yang membuat rumah satu ini semakin istimewa, terletak dari bahan yang digunakan untuk membangunnya. Bisa dikatakan istimewa, lantaran tidak menggunakan bahan logam sedikitpun dalam proses pembangunannya. Dengan begitu, rumah satu ini telah dibangun tidak menggunakan paku untuk menggabungkan satu komponen dengan komponen lainnya. Lalu bagaimana cara bangunan tersebut tetap utuh tanpa adanya komponen penyambung ?
Sebagai pengganti paku, masyarakat menggunakan berbagai bahan yang telah tersedia di alam sekitarnya. Pada bagian kayu pada atapnya saja, suku Tolaki bisa saja membuatnya dari rumbai alang alang ataupun nipah. Sedangkan balok kayu, digunakan sebagai tiang penumpu hunian. Lalu untuk membuat dindingnya, dibangun menggunakan papan kayu. Semua material tersebut, akan disatukan menjadi sebuah bangunan bersamaan dengan serat kayu atau pasak kayu.
Sebagian masyarakatnya, masih hidup secara tradisional dengan menggantungkan hidupnya dari melelola hasil alam. Hingga kini suku Tolaki masih berpegang teguh, dengan keyakinan dan tradisinya untuk menjaga serta memelihara kelestarian dari hutan. Bahkan kepercayaan ini terus diwariskan, kepada para anak cucu mereka. Hal tersebut terbukti, dengan adanya sistem perladangan dan pemukaan dari kebiasaan turun temurun.
2. Rumah Adat Mengkongga
Berbeda dengan rumah adat sebelumnya, lantaran hunian ini dibangun oleh suku Raha atau lebih dikenal dengan suku Mekongga. Bangunan satu ini, memiliki ukuran yang cukup luas dengan berbentuk segi empat. Tidak tanggung tanggung, bangunan tradisional tersebut dibangun di luas area mencapai 2 Ha. Diadopsi dari bentuk rumah panggung, rumah adat ini memiliki beberapa buah tiang yang menjulang tinggi.
Tiang tersebut bukan sekedar sebagai hiasan semata, namun berfungsi sebagai penyangga bangunan. Agar pondasi sempurna, pada umumnya bangunan ini diberikan setidaknya 12 tiang penyangga dengan 30 anak tangga. Tangga tersebut berfungsi sebagai penghubung antara, permukaan tanah dan lantai pertama hunian. 30 anak tangga tersebut, memiliki arti sebagai helaian bulu dari burung Kongga.
Pada umumnya hunian satu ini dibangun di tempat yang terbuka, yang terdiri dari 4 ruangan. Bahkan kebanyakan, rumah adat ini berdiri di dalam hutan yang dikelilingi dengan rumput alang. Tidak dihuni oleh masyarakat biasa, rumah tradisional satu ini dihuni oleh Raja atau ketua suku Raha. Biasanya rumah adat ini, digunakan untuk melakukan suatu acara, yang bersifat seremonial ataupun berbagai upacara adat lainnya.
Kian tahun, bangunan tradisional tersebut telah beralih fungsi sebagai ikon Provinsi Sulawesi Tenggara saja. Bahkan beberapa diantaranya, telah berubah oleh pemerintah daerah sebagai destinasi wisata. Hal tersebut dilakukan, untuk melestarikan serta mengenalkan budaya lokal secara internasional. Kondisi ini juga membawa dampak positif lainnya, yaitu meningkatkan pendapatan daerah serta meneguhkan kepemilikannya.
Selama berkunjung ke rumah adat ini, banyak wisatawan yang tidak lepas dari berbagai cerita mistik. Tidak jarang pula, para tamu dikejutkan dengn adanya penampakan dari makhluk halus. Sesekali, makhluk halus tersebut berani menampakkan dirinya kepada para tamu. Bentuk gangguan yang diterima pun cukup beragam. Ada pula pengunjung yang mendengar suara seperti seorang perempuan menjerit.
Ketika ada tamu yang ribut di dalam hunian tersebut, akan mendapat teguran dari penghuni yang tak kasat mata tersebut. Teguran yang biasanya diterima, dapat berupa jeritan misterius yang berasal dari ruangan. Tidak jarang pula, tamu mengadu bahwa dirinya dihantui oleh bayang bayang. Para tamu yang dianggap mengganggu ketentraman, mendapatkan bisikan untuk keluar dari rumah tradisional tersebut.
3. Rumah Adat Benua Tada
Seperti 2 rumah adat yang berada di provinsi Sulawesi Tenggara, bangunan tradisional ini memiliki bentuk layaknya rumah panggung. Nama bangunan ini terdiri dari 2 kata yang memiliki arti, yaitu Benua dan Tada. Benua memiliki arti sebagai rumah, sedangkan Tada artinya siku. Ketika digabungkan, rumah satu ini memiliki arti sebagai rumah siku.
Dalam pembangunannya, rumah tradisional ini menggunakan bahan material yang terbuat dari kayu. Seperti rumah adat Laikas, dalam pembuatan rumah satu ini tidak menggunakan paku sedikitpun. Sebenarnya hunian satu ini, merupakan salah satu peninggalan dari kesultanan Buton. Disana Anda akan menemukan berbagai simbol dan beberapa hiasan, yang dipengaruhi dari konsep beserta ajaran tasawuf.
Tidak dipasang secara sembarangan, lantaran simbol tersebut memiliki arti tersendiri. Simbol yang diberikan melambangkan nilai nilai dari kebudayaan, cerita peradapan dari kesultanan Buton di masa lalu, hingga menerapkan kearifan lokal yang ada. Peruntukan Banua Tada terbagi menjadi 3 jenis yang terdiri dari Kamali atau malige, Nanua Tada Tare Pata pale, dan Banua Tada Tare Talu Pale.
Kamali atau malige, merupakan rumah adat atau istana yang khusus ditinggali oleh Raja beserta bagi keluarganya. Banua Tada Tare Pata Pale, menjadi rumah adat yang berbentuk rumah siku dengan 4 tiang. Pada umumnya, hunian tradisional satu ini, ditinggali oleh para pejabat hingga para pegawai istana. Banua Tada Tare Pale, menjadi hunian tradisional yang berbentuk rumah siku bertiang 3. Pada umumnya, rumah ini biasa ditinggali untuk orang dewasa.
Rumah adat khas Provinsi Sulawesi Tenggara, menjadi bagian dari budaya yang dimiliki oleh Indonesia. Bangunan tradisional satu ini, memiliki model layaknya rumah panggung. Tipe kamarnya, rumah adat Sulawesi tidak dilengkapi dengan jendela maupun dinding. Setiap huniannya, jumlah anak tangga yang diberikan pun beragam. Agar lebih mudah membedakannya, bisa dilihat berdasarkan dari tingkat kedudukan si pemilik rumah.
Nah, itulah 3 rumah adat yang ada di Sulawesi Tenggara guys.